Saturday, June 30, 2012

KEBIJAKAN EKSPOR PAJAK PADA CRUDE PALM OIL (CPO) DI INDONESIA



BAB 1. PENDAHULUAN
            Indonesia merupakan negara besar yang memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah. Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya bermatapencaharian di bidang pertanian. Pertanian adalah suatu jenis kegiatan produksi yang berlandaskan prsoes pertumbuhan dari tumbuh-tumbuhan dan hewan. Pertanian dalam arti sempit dinamakan pertanian rakyat sedangkan pertanian luas meliputi pertanian sempit, kehutanan, peternakan dan perikanan. Cuaca dan iklim di Indonesia sangat mendukung untuk kegiatan pertanian Indonesia.
Pertanian adalah sejenis proses produksi yang khas yang didasarkan atas proses-proses pertumbuhan tanaman dan hewan. Para petani mengatur dan menggiatkan pertumbuhan tanaman dan hewan itu dalam usahatani (farm). Kegiatan-kegiatan produksi didalam setiap usaha tani merupakan suatu kegiatan usaha (bussines), dimana biaya dan penerimaan itu penting. Pertanian memiliki unsur-unsur yaitu: proses produksi, petani, usahatani, usahatani sebagai perusahaan. Definisi menurut Mosher di atas adalah definisi pertanian dalam arti sempit. Definisi pertanian dalam arti luas adalah kegiatan yang menyangkut perkebunan, peternakan, perikanan, kehutanan dan pertanian itu sendiri. Pertanian di Indonesia dibagi menjadi 3 bagian, yakni tanaman pangan, tanaman perkebunan dan hortikultura. Tanaman pangan terdiri dari padi, jagung, kedelai; tanaman perkebunan terdiri dari kelapa sawit, karet, kakao; hortikultura terdiri dari pisang, jeruk, bawang merah, anggrek, dan lain-lain.
Produk perkebunan memiliki peran yang sangat penting untuk tampil di pengembangan perekonomian nasional Indonesia. Komoditas ini, dan khususnya minyak sawit mentah (CPO), telah sangat memberikan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia, menyebabkan pertumbuhan produksi dan pengembangan areal, menciptakan berbagai bentuk kerja bagi lebih dari 3,5 juta orang di ini sub-sektor, peningkatan perdagangan internasional dan nasional dan meningkatkan standar hidup serta status keuangan masyarakat lokal. Sektor perkebunan di Indonesia telah mengalami pertumbuhan dan perkembangan melalui usaha perkebunan rakyat, perkebunan besar milik rakyat dan milik swasta. Salah satu dari komoditas perkebunan Indonesia yang sudah pada tingkatan ekspor adalah kelapa sawit. Kelapa sawit  merupakan salah satu produk perkebunan yang memiliki nilai tinggi  dan industrinya termasuk padat karya. Manfaat dari buah kelapa sawit sendiri sangat  bervariasi. Cukup banyak industri lain  yang dapat menggunakan sebagai bahan baku  produknya, seperti  minyak goreng, makanan, kosmetik dan lain-lain.  Akhir-akhir ini industri kelapa sawit cukup marak dibicarakan, karena dunia saat  ini sedang ramai-ramainya mencari sumber  energi baru pengganti minyak bumi yang  cadangannya semakin menipis.  Salah satu alternatif pengganti tersebut adalah energi  bio diesel dimana  bahan baku utamanya adalah minyak mentah kelapa sawit atau yang  lebih dikenal dengan nama Crude Palm Oil  (CPO). Bio diesel ini merupakan energi alternatif yang ramah lingkungan, selain itu sumber energinya dapat terus  dikembangkan, sangat berbeda dengan minyak bumi yang jika cadangannya sudah habis  tidak dapat dikembangkan kembali.
Indonesia adalah salah satu dari produsen CPO tertinggi di dunia. Hal ini dapat disebabkan karena kondisi alam yang menguntungkan yakni  iklim negara, besar daerah potensi produksi, investasi dalam penelitian dan teknologi, serta ketersediaan tenaga kerja terlatih yang memiliki keterampilan yang diperlukan untuk membawa tentang peningkatan produksi CPO. Perkembangan kebutuhan CPO untuk fokus pada prospek dan sarana lainnya yang akan membuat  kebutuhan pelanggan dasar untuk komoditas agar digunakan dalam industri makanan, aplikasi industri, dan sebagai sumber alternatif energi. Areal penanaman kelapa sawit Indonesia terkonsentrasi di lima propinsi yakni  Sumatera Utara,  Riau, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Jambi dan Aceh. Areal  penanaman terbesar terdapat di Sumatera Utara  (dengan sentra produksi di Labuhan  Batu, Langkat, dan Simalungun) dan Riau. Pada 1997, dari luas areal tanam 2,5 juta  hektar, kedua propinsi ini memberikan kontribusi sebesar 44%, yakni Sumatera Utara  23,24% (584.746 hektar) dan Riau 20,76% (522.434 hektar). Sementara Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Jambi dan Aceh masing-masing memberikan kontribusi 7% hingga 9,8%, dan   propinsi lainnya 1% hingga 5%.
Industri minyak mentah sawit di Indonesia telah berevolusi. Perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah berkembang dari 600 000 hektar pada tahun 1985 menjadi lebih dari 6 juta hektar pada awal 2007, dan diharapkan mencapai 10 juta hektar pada tahun 2010. Pada saat yang sama, minyak sawit Indonesia produksi meningkat dari 157 000 metrik ton menjadi 16,4 juta metrik ton pada periode yang sama, sementara ekspor telah meningkat dari 126 000 metrik ton menjadi 12 juta ton metrik. Produksi CPO dunia telah berkembang mantap. Selama periode 2001-2005 produksi CPO dunia tumbuh rata-rata 8,78 % per tahun. Namun, produksi CPO Indonesia lebih rendah dari Malaysia. Pertumbuhan Ekspor CPO Indonesia, salah satunya disebabkan oleh tingginya permintaan dunia terhadap CPO. Karena pentingnya minyak sawit mentah bagi perekonomian Indonesia, dan di seluruh dunia, pemerintah Indonesia memutuskan untuk memberlakukan pajak ekspor CPO-nya.

BAB 2. PEMBAHASAN
            Pajak ekspor merupakan pajak yang dikenakan kepada konsumen di luar negeri (konsumen di negara pengimpor), sehingga konsumen di negara pengimpor akan menerima harga yang lebih tinggi dari pada konsumen dalam negeri. Pajak ekspor ini merupakan salah satu langkah untuk perlindungan strategis industri pengolahan dalam negeri dan juga merupakan upaya untuk menjaga kestabilan harga domestik. Sama halnya dengan kebijakan-kebijakan pemerintah lainnya, kebijakan pembebanan pajak ekspor ini juga memiliki sisi pro dan kontra. Ada golongan tertentu yang dirugikan dengan adanya kebijakan ini, dan ada pula golongan tertentu yang diuntungkan oleh kebijakan ini. Hal itu dapat dilihat pada pemberlakuan pajak ekspor terhadap CPO. Pemberlakuan pajak ekspor ini memiliki dampak yang signifikan terhadap CPO di Indonesia. Pada tahun 2002 pajak ekspor sebesar 3%, 1,5% pada tahun 2004, dan kemudian 6,5% pada tahun 2007.
 





Pajak


7.5%

15%

20%


area (000 ha)

-0.52

-1.04

-1.38


Produksi (000 ton)

-0.12

-0.28

-0.34


Ekspor CPO (000 ton)

-3.26

-6.27

-8.22


Harga CPO Domestik (Rp / kg)

-2.74

-5.38

-7.04


Sesuai dengan Tabel 4, dampak dari dari tarif pajak ekspor sebesar 7,5 %, 15% dan 20%. Peningkatan pembebanan dan pajak ekspor memiliki dampak negatif terhadap  area kelapa sawit di Indonesia. Area kelapa sawit akan berkurang 0,52%. Ketika pemerintah meningkatkan pajak ekspor hingga 15 %, area budidaya kelapa sawit di Indonesia berkurang sebesar 1,04%. Saat pemerintah meningkatkan pajak ekspor hingga 20 %, area budidaya kelapa sawit di Indonesia berkurang sebesar 1,38 %. Hal ini berarti bahwa pengenaan pajak ekspor secara signifikan mengurangi luas area perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Selain dampak negatif pada luas area budidaya kelapa sawit, pajak ekspor juga akan berdampak negatif terhadap produksi CPO. Dampak pajak ekspor jelas pada jumlah CPO yang diproduksi di Indonesia. Saat 7,5 % pajak ekspor diterapkan, produksi berkurang sebesar 0,124 %. Saat  pajak ditingkatkan menjadi 15 % oleh pemerintah, produksi CPO Indonesia dikurangi dengan menerjemahkan 0,28 %. Saat  pajak ditingkatkan menjadi 20 % oleh pemerintah, produksi CPO Indonesia dikurangi dengan menerjemahkan 0,34 %. Pembebanan pajak ekspor akan menyebabkan berkurangnya lahan budidaya kelapa sawit dan menurunnya produksi CPO.       
Pembebanan pajak ekspor ini juga akan berdampak negatif terhadap volume ekspor CPO. Saat 7,5 % pajak ekspor diterapkan, volume ekspor akan berkurang sebesar 3,26 %. Saat 15 % pajak ekspor diterapkan, volume ekspor akan berkurang sebesar 6,27 %. Saat 20% pajak ekspor diterapkan, volume ekspor akan berkurang sebesar 8,22 %. Hal ini disebabkan pembebanan pajak ekspor oleh suatu negara, dalam hal ini Indonesia, akan membuat harga yang diterima konsumen di banyak negara pengimpor akan semakin tinggi. Tingginya harga yang diterima konsumen akan menyebabkan berkurangnya permintaan terhadap CPO, sehingga ekspor pun akan menurun.
Di sisi lain, kebijakan pajak ekspor memberikan manfaat besar bagi konsumen. Pada tabel diatas menunjukkan bahwa implementasi kebijakan ini menyebabkan harga CPO dalam negeri lebih rendah. Saat pemerintah menetapkan pajak ekspor  sebesar 7,5 %, maka harga CPO dalam negeri akan menurun sebesar 2,74%, atau  2,74% lebih rendah dibandingkan dengan tanpa pajak ekspor. Saat pemerintah menetapkan pajak ekspor  sebesar 15 %, maka harga CPO dalam negeri akan menurun sebesar 5,38%. Saat pemerintah menetapkan pajak ekspor  sebesar 20 %, maka harga CPO dalam negeri akan menurun sebesar 7,04% Peningkatan lebih lanjut dalam pajak ekspor CPO akan bermanfaat bagi konsumen dalam negeri.
Dari penjelasan diatas, jelas diketahui bahwa kebijakan pajak ekspor akan merugikan produsen CPO (beberapa dari mereka adalah petani kecil). Pembebanan pajak ekspor tersebut akan menyebabkan harga di konsumen luar negeri akan menjadi lebih tinggi, sehingga permintaan akan CPO dari luar negeri akan berkurang, yang tentunya akan mengurangi volume ekspor CPO Indonesia ke negara lain. Berkurangnya volume ekspor ke negara lain akan menyebabkan bertambahnya supply CPO dalam negeri. Bertambahnya supply CPO dalam negeri akan menjaga kestabilan harga CPO domestik atau bahkan akan menurunkan harga CPO dalam negeri. Rendahnya harga CPO dalam negeri akan mempengaruhi produsen CPO, petani kelapa sawit akan mengurangi produksinya dengan cara mengurangi lahan budidaya kelapa sawitnya dan menggantinya dengan tanaman lain, turunnya luas area yang digunakan untuk budidaya kelapa sawit akan menyebabkan menurunnya produksi kelapa sawit, yang pasti juga akan berdampak pada menurunnya produksi CPO. Menurunnya harga CPO, akan memberikan manfaat bagi konsumen dan masyarakat secara umum, karena turunnya harga CPO, tentunya akan berdampak pada turunnya harga minyak goreng di tingkat konsumen. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberlakuan kebijakan pajak ekspor akan merugikan petani kelapa sawit dan menguntungkan konsumen. Kebijakan pajak ekspor akan mengurangi surplus produsen dan menambah surplus konsumen.

BAB 3. PENUTUP
Simpulan
1.        Kebijakan pajak ekspor akan menjaga harga CPO domestik tetap stabil.
2.    Kebijakan pajak ekspor akan mengurangi surplus produsen (luas area, produksi CPO, volume  ekspor akan berkurang) dan menambah surplus konsumen (harga minyak goreng akan berkurang).
Saran
Diharapkan pemerintah dapat menetapkan pajak ekspor yang tepat, sehingga akan membawa kebaikan pada produsen dan konsumen. Setidaknya, bagi produsen pajak ekspor tersebut akan memberikan keuntungan yang cukup untuk merehabilitasi perkebunan mereka, dan bagi konsumen pajak ekspor tersebut menjadi kontrol agar harga minyak yang diterima konsumen tidak terlalu tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pertanian. 2009. Statistik Perkebunan Kelapa Sawit. Setditjen Perkebunan, Jakarta.
Mosher, A.T , 1981, Menciptakan Struktur Pedesaan yang Progresif, Yasaguna, Jakarta.
Siregar, Hermanto. 2009. Industri CPO di Indonesia. http://www. google. co.id/url?sa=t&source=web&cd. [10 Mei 2011]
Soetriono. 2006. Ilmu Pertanian. Bayu Media: Malang.
Zhiyuan, Cui. 2000. China's Export Tax Rebate Policy. J. ISSAAS Vol. 15, No 2:107 -119 (2000)

Share it To Your Friend:

Related Post:

2 comments: