BAB 1. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara besar yang memiliki potensi sumber daya
alam yang melimpah. Indonesia merupakan negara agraris
yang sebagian besar penduduknya bermatapencaharian di bidang pertanian.
Pertanian adalah suatu jenis kegiatan produksi yang berlandaskan prsoes
pertumbuhan dari tumbuh-tumbuhan dan hewan. Pertanian dalam arti sempit dinamakan
pertanian rakyat sedangkan pertanian luas meliputi pertanian sempit, kehutanan,
peternakan dan perikanan. Cuaca dan iklim di Indonesia sangat mendukung untuk kegiatan
pertanian Indonesia.
Pertanian adalah sejenis
proses produksi yang khas yang didasarkan atas proses-proses pertumbuhan
tanaman dan hewan. Para petani mengatur dan menggiatkan pertumbuhan tanaman dan
hewan itu dalam usahatani (farm). Kegiatan-kegiatan
produksi didalam setiap usaha tani merupakan suatu kegiatan usaha (bussines), dimana biaya dan penerimaan
itu penting. Pertanian
memiliki unsur-unsur yaitu: proses produksi, petani, usahatani, usahatani
sebagai perusahaan. Definisi menurut Mosher di atas adalah definisi pertanian
dalam arti sempit. Definisi pertanian dalam arti luas adalah kegiatan yang
menyangkut perkebunan, peternakan, perikanan, kehutanan dan pertanian itu
sendiri. Pertanian di Indonesia dibagi menjadi 3 bagian,
yakni tanaman pangan, tanaman perkebunan dan hortikultura. Tanaman pangan
terdiri dari padi, jagung, kedelai; tanaman perkebunan terdiri dari kelapa
sawit, karet, kakao; hortikultura terdiri dari pisang, jeruk, bawang merah,
anggrek, dan lain-lain.
Produk
perkebunan memiliki peran yang sangat penting untuk tampil di pengembangan perekonomian
nasional Indonesia. Komoditas ini, dan khususnya minyak sawit mentah (CPO),
telah sangat memberikan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB)
Indonesia, menyebabkan pertumbuhan produksi dan pengembangan areal, menciptakan
berbagai bentuk kerja bagi lebih dari 3,5 juta orang di ini sub-sektor,
peningkatan perdagangan internasional dan nasional dan meningkatkan standar
hidup serta status keuangan masyarakat lokal. Sektor
perkebunan di Indonesia telah mengalami pertumbuhan dan perkembangan melalui
usaha perkebunan rakyat, perkebunan besar milik rakyat dan milik swasta. Salah
satu dari komoditas perkebunan Indonesia yang sudah pada tingkatan ekspor
adalah kelapa sawit. Kelapa sawit
merupakan salah satu produk perkebunan yang memiliki nilai tinggi dan industrinya termasuk padat karya. Manfaat
dari buah kelapa sawit sendiri sangat
bervariasi. Cukup banyak industri lain
yang dapat menggunakan sebagai bahan baku produknya, seperti minyak goreng, makanan, kosmetik dan
lain-lain. Akhir-akhir ini industri
kelapa sawit cukup marak dibicarakan, karena dunia saat ini sedang ramai-ramainya mencari sumber energi baru pengganti minyak bumi yang cadangannya semakin menipis. Salah satu alternatif pengganti tersebut
adalah energi bio diesel dimana bahan baku utamanya adalah minyak mentah
kelapa sawit atau yang lebih dikenal
dengan nama Crude Palm Oil (CPO). Bio
diesel ini merupakan energi alternatif yang ramah lingkungan, selain itu sumber
energinya dapat terus dikembangkan,
sangat berbeda dengan minyak bumi yang jika cadangannya sudah habis tidak dapat dikembangkan kembali.
Indonesia
adalah salah satu dari produsen CPO tertinggi di dunia. Hal ini dapat disebabkan
karena kondisi alam yang menguntungkan yakni iklim negara, besar daerah potensi produksi,
investasi dalam penelitian dan teknologi, serta ketersediaan tenaga kerja
terlatih yang memiliki keterampilan yang diperlukan untuk membawa tentang
peningkatan produksi CPO. Perkembangan kebutuhan CPO untuk fokus pada prospek
dan sarana lainnya yang akan membuat kebutuhan pelanggan dasar untuk komoditas agar
digunakan dalam industri makanan, aplikasi industri, dan sebagai sumber
alternatif energi. Areal penanaman kelapa sawit
Indonesia terkonsentrasi di lima propinsi yakni
Sumatera Utara, Riau, Kalimantan
Barat, Sumatera Selatan, Jambi dan Aceh. Areal
penanaman terbesar terdapat di Sumatera Utara (dengan sentra produksi di Labuhan Batu, Langkat, dan Simalungun) dan Riau. Pada
1997, dari luas areal tanam 2,5 juta
hektar, kedua propinsi ini memberikan kontribusi sebesar 44%, yakni
Sumatera Utara 23,24% (584.746 hektar)
dan Riau 20,76% (522.434 hektar). Sementara Kalimantan Barat, Sumatera
Selatan, Jambi dan Aceh masing-masing memberikan kontribusi 7% hingga 9,8%, dan propinsi lainnya 1% hingga 5%.
Industri minyak
mentah sawit di Indonesia telah berevolusi. Perkebunan kelapa sawit di
Indonesia telah berkembang dari 600 000 hektar pada tahun 1985 menjadi lebih
dari 6 juta hektar pada awal 2007, dan diharapkan mencapai 10 juta hektar pada
tahun 2010. Pada saat yang sama, minyak sawit Indonesia produksi meningkat dari
157 000 metrik ton menjadi 16,4 juta metrik ton pada periode yang sama, sementara ekspor telah meningkat dari 126 000 metrik
ton menjadi 12 juta ton metrik. Produksi CPO
dunia telah berkembang mantap. Selama periode 2001-2005 produksi CPO dunia
tumbuh rata-rata 8,78 % per tahun. Namun, produksi CPO Indonesia lebih
rendah dari Malaysia. Pertumbuhan Ekspor CPO Indonesia, salah satunya disebabkan
oleh tingginya permintaan dunia terhadap CPO. Karena pentingnya minyak sawit mentah
bagi perekonomian Indonesia, dan di seluruh dunia, pemerintah Indonesia
memutuskan untuk memberlakukan pajak ekspor CPO-nya.
BAB 2. PEMBAHASAN
Pajak ekspor merupakan pajak yang
dikenakan kepada konsumen di luar negeri (konsumen di negara pengimpor),
sehingga konsumen di negara pengimpor akan menerima harga yang lebih tinggi
dari pada konsumen dalam negeri. Pajak ekspor ini merupakan salah satu langkah
untuk perlindungan strategis industri pengolahan dalam negeri dan juga
merupakan upaya untuk menjaga kestabilan harga domestik. Sama halnya dengan
kebijakan-kebijakan pemerintah lainnya, kebijakan pembebanan pajak ekspor ini
juga memiliki sisi pro dan kontra. Ada golongan tertentu yang dirugikan dengan
adanya kebijakan ini, dan ada pula golongan tertentu yang diuntungkan oleh
kebijakan ini. Hal itu dapat dilihat pada pemberlakuan pajak ekspor terhadap
CPO. Pemberlakuan pajak ekspor ini memiliki dampak yang signifikan terhadap CPO
di Indonesia. Pada tahun 2002 pajak ekspor sebesar 3%, 1,5% pada tahun 2004,
dan kemudian 6,5% pada tahun 2007.
Pajak
|
7.5%
|
15%
|
20%
|
area (000 ha)
|
-0.52
|
-1.04
|
-1.38
|
Produksi (000 ton)
|
-0.12
|
-0.28
|
-0.34
|
Ekspor CPO (000
ton)
|
-3.26
|
-6.27
|
-8.22
|
Harga CPO Domestik
(Rp / kg)
|
-2.74
|
-5.38
|
-7.04
|
Sesuai
dengan Tabel 4, dampak dari dari tarif pajak ekspor sebesar 7,5 %, 15% dan 20%.
Peningkatan pembebanan dan pajak ekspor memiliki dampak negatif terhadap area kelapa sawit di Indonesia. Area kelapa
sawit akan berkurang 0,52%. Ketika pemerintah meningkatkan pajak ekspor hingga
15 %, area budidaya kelapa sawit di Indonesia berkurang sebesar 1,04%. Saat
pemerintah meningkatkan pajak ekspor hingga 20 %, area budidaya kelapa sawit di
Indonesia berkurang sebesar 1,38 %. Hal ini berarti bahwa pengenaan pajak
ekspor secara signifikan mengurangi luas area perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Selain dampak negatif pada luas area budidaya kelapa sawit, pajak ekspor juga akan
berdampak negatif terhadap produksi CPO. Dampak pajak ekspor jelas pada jumlah
CPO yang diproduksi di Indonesia. Saat 7,5 % pajak ekspor diterapkan, produksi berkurang
sebesar 0,124 %. Saat pajak ditingkatkan
menjadi 15 % oleh pemerintah, produksi CPO Indonesia dikurangi dengan
menerjemahkan 0,28 %. Saat pajak
ditingkatkan menjadi 20 % oleh pemerintah, produksi CPO Indonesia dikurangi
dengan menerjemahkan 0,34 %. Pembebanan pajak ekspor akan menyebabkan
berkurangnya lahan budidaya kelapa sawit dan menurunnya produksi CPO.
Pembebanan
pajak ekspor ini juga akan berdampak negatif terhadap volume ekspor CPO. Saat 7,5
% pajak ekspor diterapkan, volume ekspor akan berkurang sebesar 3,26 %. Saat 15
% pajak ekspor diterapkan, volume ekspor akan berkurang sebesar 6,27 %. Saat
20% pajak ekspor diterapkan, volume ekspor akan berkurang sebesar 8,22 %. Hal
ini disebabkan pembebanan pajak ekspor oleh suatu negara, dalam hal ini
Indonesia, akan membuat harga yang diterima konsumen di banyak negara pengimpor
akan semakin tinggi. Tingginya harga yang diterima konsumen akan menyebabkan
berkurangnya permintaan terhadap CPO, sehingga ekspor pun akan menurun.
Di
sisi lain, kebijakan pajak ekspor memberikan manfaat besar bagi konsumen. Pada
tabel diatas menunjukkan bahwa implementasi kebijakan ini menyebabkan harga CPO
dalam negeri lebih rendah. Saat pemerintah menetapkan pajak ekspor sebesar 7,5 %, maka harga CPO dalam negeri
akan menurun sebesar 2,74%, atau 2,74% lebih
rendah dibandingkan dengan tanpa pajak ekspor. Saat pemerintah menetapkan pajak
ekspor sebesar 15 %, maka harga CPO
dalam negeri akan menurun sebesar 5,38%. Saat pemerintah menetapkan pajak
ekspor sebesar 20 %, maka harga CPO
dalam negeri akan menurun sebesar 7,04% Peningkatan lebih lanjut dalam pajak
ekspor CPO akan bermanfaat bagi konsumen dalam negeri.
Dari
penjelasan diatas, jelas diketahui bahwa kebijakan pajak ekspor akan merugikan produsen
CPO (beberapa dari mereka adalah petani kecil). Pembebanan pajak ekspor
tersebut akan menyebabkan harga di konsumen luar negeri akan menjadi lebih
tinggi, sehingga permintaan akan CPO dari luar negeri akan berkurang, yang
tentunya akan mengurangi volume ekspor CPO Indonesia ke negara lain.
Berkurangnya volume ekspor ke negara lain akan menyebabkan bertambahnya supply CPO dalam negeri. Bertambahnya supply CPO dalam negeri akan menjaga
kestabilan harga CPO domestik atau bahkan akan menurunkan harga CPO dalam
negeri. Rendahnya harga CPO dalam negeri akan mempengaruhi produsen CPO, petani
kelapa sawit akan mengurangi produksinya dengan cara mengurangi lahan budidaya
kelapa sawitnya dan menggantinya dengan tanaman lain, turunnya luas area yang
digunakan untuk budidaya kelapa sawit akan menyebabkan menurunnya produksi
kelapa sawit, yang pasti juga akan berdampak pada menurunnya produksi CPO. Menurunnya
harga CPO, akan memberikan manfaat bagi konsumen dan masyarakat secara umum,
karena turunnya harga CPO, tentunya akan berdampak pada turunnya harga minyak
goreng di tingkat konsumen. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberlakuan
kebijakan pajak ekspor akan merugikan petani kelapa sawit dan menguntungkan
konsumen. Kebijakan pajak ekspor akan mengurangi surplus produsen dan menambah
surplus konsumen.
BAB 3. PENUTUP
Simpulan
1.
Kebijakan pajak
ekspor akan menjaga harga CPO domestik tetap stabil.
2. Kebijakan pajak
ekspor akan mengurangi surplus produsen (luas area, produksi CPO, volume ekspor
akan berkurang) dan menambah surplus konsumen (harga minyak goreng akan
berkurang).
Saran
Diharapkan
pemerintah dapat menetapkan pajak ekspor yang tepat, sehingga akan membawa
kebaikan pada produsen dan konsumen. Setidaknya, bagi produsen pajak ekspor
tersebut akan memberikan keuntungan yang cukup untuk merehabilitasi perkebunan
mereka, dan bagi konsumen pajak ekspor tersebut menjadi kontrol agar harga
minyak yang diterima konsumen tidak terlalu tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen
Pertanian. 2009. Statistik Perkebunan Kelapa
Sawit. Setditjen Perkebunan, Jakarta.
Mosher,
A.T , 1981, Menciptakan Struktur Pedesaan
yang Progresif, Yasaguna, Jakarta.
Siregar, Hermanto. 2009. Industri CPO di Indonesia. http://www. google. co.id/url?sa=t&source=web&cd.
[10 Mei 2011]
Soetriono. 2006. Ilmu
Pertanian. Bayu Media: Malang.
Zhiyuan, Cui. 2000. China's Export
Tax Rebate Policy. J. ISSAAS Vol. 15, No 2:107 -119 (2000)
makasih kak artikelnya jadi bantuan refresnsi saya :)
ReplyDeletetantangan kreatif blogger Simak Tantangan Kreatif Blogger Berhadiah Mingguan & Grandprize Android
sama-sama,
ReplyDeletesemoga bermanfaat ia, salam kenal..
:)